Kamis, 17 Desember 2009

Ikan Lohan Mendatangkan Untung

SAYA menautkan kening kuat-kuat. Sehari sebelum lebaran dan sehari sesudah lebaran Mpok Rudi, kebetulan ibunya Mbak Imel, asisten baru di rumah, kok masih masuk kerja. Jika hari-hari sebelumnya, Mbak Imel sudah saya liburkan, Mpok Rudi masih masuk dengan alasan ada ikan di rumah majikannya. Saya pikir, memang ikan itu harus dimasak oleh Mpok Rudi, karena mama Lilis sibuk. Mama Lilis disamping bekerja, juga mempunyai toko di kawasan Reni, jadi emang super sibuk.
Saya sering berpikir, apakah kesibukkannya teramat sangat? Sampai-sampai pembantunya sama sekali tak diliburkan, padahal hari lebaran. Saya bertanya lagi pada Mpok Rudi mengapa sehari lebaran sudah masuk kembali.
“Ada ikan Bu.”
“Lho bukannya pada mudik Mpok.”
“Makanya saya masuk, Bu. Ngurus ikannya.”
“Emang nggak dibagi saja ke Mpok?”
“Ya nggak, bu. Orang ikan mahal.”
“Lho kalau nggak dibagi lalu basi kan sayang Mpok.”
“Bukan ikan buat lauk bu, ikan Lohan.”
“Oh,” cukup lama saya ternganga, baru sadar ternyata ikan yang selama ini dibilang Mpok Rudi ternyata ikan hias.
Saya pandangi Mpok Rudi, perempuan yang satu ini memang sosok yang setia pada majikan, bahkan cenderung menerima apa adanya. Diantara sekian pekerja dialah pembantu yang digaji kurang memadahi. Masuk pagi hari, pulang sampai pukul delapan malam, tak jarang sampai sepuluh malam. Ironisnya, jika pulang malam suami mama Lilis tak mau mengantar.
Mpok Rudi memang disuruh menunggui anak tunggal mama Lilis, karena suami istri itu bekerja dua-duanya dan selalu pulang malam. Dulu mama Lilis mengambil pembantu yang menginap, tetapi karena berbagai hal pembantunya berhenti. Sekarang mama Lilis memperkerjakan orang kampung sebelah.
Ada yang menggelitik, suami dan mama Lilis punya kebiasaan ke orang pintar. Kalau dia mau memperkerjakan orang mesti menghubungi dulu orang pintar yang ia percaya. Sebelum Mpok Rudi bekerja, sudah ada pembantu yang menginap. Namanya entah siapa, dia suka dipanggil Ecek.
Ecek ini termasuk lama bekerja, sampai lima tahun, herannya setiap habis pulang dari kampung selalu mengeluh ke saya, kalau dia ingin berhenti bekerja di mama Lilis. Alasannya sudah nggak betah, gajinya terlalu kecil, juga tak tersedia makanan. Setiap hari hanya makan mie dan telur. Mama Lilis memang jarang menyuruh Ecek masak, karena makan siang anaknya di sekolah. Pagi hanya makan roti dan segelas susu. Sedang mama Lilis dan suami makan di kantor.
Banyak cerita mengalir dari Ecek tentang majikannya itu. Dia sangat suka curhat ke rumah. Berkali-kali Ecek bilang ingin berhenti dan bertekad mau bekerja di orang lain. Berkali-kali juga Ecek balik lagi ke Mama Lilis.
Dia pernah berjanji akan bekerja di sebuah keluarga, tapi belum sempat terlaksana Ecek sudah dijemput oleh Mama Lilis dan suami. Menurut Ecek, setiap lebaran usai memang dia yang dijemput untuk kembali bekerja ke Mama Lilis.
“Entah kenapa Mama Fira, saya suka kasihan setiapkali dijemput. Biar pun sebelumnya sudah bertekad ingin berhenti, selalu saja ikut lagi sama mama Lilis.
“Setiapkali menjemput saya, selalu bawa teman. Laki-laki bersorban dengan janggut yang terawat. Kata orang sih, orang pintar.” Saya hanya mengangguk-angguk saja, masak sih orang seperti Mama Lilis percaya sama orang pintar.
“Kalau lagi ada urusan, orang pintar itu sering ke rumah,tapi malam-malam.”
Saya tersenyum tipis, mungkin saja yang diceritakan Ece dulu benar, Mama Lilis suka berhubungan dengan orang pintar.
“Sejak kapan Mpok memelihara ikan hias.”
“Ini katanya ikan mahal bu,” jelas Mpok Rudi.
“Ya, makanya Mpok diwanti-wanti untuk menjaga.”
“Sejak ada ikan Lohan, katanya dagangan ibu laris manis.”
“Oh ya.”
“Lohan kan bawa keberuntungan, bu. Makanya belinya mahal.”
“Kata siapa bawa keberuntungan,” tanya saya.
“Kata Mama Lilis. Saya sering dimarahin sama bapak, kalau lupa ngasih makan Lohan.”
“Ooo,” saya mengangguk-angguk. Bagaimana kalau tiba-tiba Lohan itu mati, he he…
DWY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar